Menurut Kemenperin, mobil listrik atau electric vehicle (EV) menghasilkan emisi karbon yang lebih besar daripada mobil hybrid dan mobil bermesin biasa. Hal ini disebabkan oleh proses pembuatan baterai yang digunakan oleh mobil listrik. Benarkah demikian?
R Hendro Martoni, Direktur IMATAP Kemenperin, mengklarifikasi pernyataan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang tentang emisi karbon mobil listrik yang dikatakan lebih besar daripada kendaraan hibrida dan konvensional. Hendro mengatakan bahwa banyak masyarakat yang salah mengerti maksud dari Agus Gumiwang.
"Yang dibahas dalam raker adalah strategi yang berdasarkan beberapa studi, salah satunya oleh McKinsey and Company, yang menunjukkan bahwa dalam proses pembuatan baterai BEV terjadi emisi sekitar 40 persen lebih besar daripada (mobil) hybrid dan bensin karena proses ekstraksi mineral lithium, kobalt, dan nikel," kata Hendro, seperti dikutip dari Antara.
Hendro menambahkan, untuk mencapai dekarbonisasi ekosistem kendaraan listrik, diperlukan energi listrik terbarukan dengan mengurangi penggunaan sumber listrik dari fosil, baik untuk energi kendaraan listrik maupun untuk pemrosesan mineral untuk pembuatan baterai.
Selain itu, diperlukan juga fasilitas daur ulang (recycling) baterai agar baterai bekas bisa dimanfaatkan sebagai energi penyimpanan sekunder. Dengan demikian, diharapkan ekosistem end-to-end dari kendaraan listrik ini dapat terwujud.
Emisi Masih Lebih Rendah
Berdasarkan laporan Polestar and Rivian Pathway Report (2023) tentang kajian life cycle emission tahun 2021 di Eropa, Amerika Utara, dan Asia Pasifik, disebutkan bahwa kendaraan listrik ini menghasilkan emisi yang lebih rendah, yaitu 39 tonnes of carbon dioxide equivalent (tCO2e).
Angka tersebut lebih rendah daripada kendaraan hybrid yang memiliki emisi sebesar 47 tCO2e dan juga daripada kendaraan konvensional atau internal combustion engine (ICE) yang mencapai 55 tCO2e.
"Angka emisi ini tidak terlalu berbeda jauh per ton CO2 per km-nya jika bersamaan bensin yang digunakan lebih bio atau green fuel," ujar Hendro.
Life cycle emissions ini, menurut Hendro, menunjukkan jumlah total gas rumah kaca dan partikel yang dikeluarkan selama siklus kendaraan, mulai dari produksi hingga penggunaan dan pembuangan (disposal). Hal ini ditunjukkan dengan satuan tonnes of carbon dioxide equivalent (tCO2e).
"Masih adanya emisi ini sangat bergantung dari input energi bahan bakar dari hulu dan hilir dan secara gradual akan menurun jika bahan input ini dilakukan secara green fuel," kata Hendro menjelaskan.
Hendro meminta agar para pihak yang mengkritik soal emisi kendaraan listrik ini untuk memahami konteks secara menyeluruh dan melihat road map kendaraan listrik yang dibuat Kemenperin. Semua itu disiapkan untuk mencapai target net zero emission lebih cepat dari target pemerintah di tahun 2060, melalui sektor alat transportasi.
Baca artikel dan berita menarik dari JalanTikus lainnya di Google News
Baca juga artikel Mobil Listrik Hyundai, Motor Listrik Honda, atau artikel menarik lainnya dari Muhammad Irsyad.