Sejarah Kelam Manggarai Jakarta yang Jadi Saksi Bisu Perbudakan Zaman Kolonial Belanda

Default

Siapa yang akan menyangka bahwa kawasan Manggarai Jakarta, yang kini terkenal sebagai pusat bisnis dan padat penduduk, memiliki sejarah kelam sebagai tempat perbudakan pada masa kolonial Belanda? Pada sekitar tahun 1800-an, ribuan budak pribumi dieksploitasi untuk memuaskan nafsu penjajah. Jalan Sultan Agung, yang dahulu dikenal sebagai Jalan Jan Pieterszoon Coen, merujuk pada sejarah kelam ini, diambil dari nama Gubernur Jenderal Hindia Belanda terkemuka yang menjadikan daerah tersebut pusat perbudakan perempuan di Batavia.

Manggarai, nama yang mencerminkan asal usul budak-budak tersebut, ternyata merupakan wilayah di Nusa Tenggara Timur tempat mayoritas budak berasal. Pada saat Pieterszoon Coen tiba di Jayakarta, kawasan Manggarai sepi karena penduduk asli, orang Jawa dan Sunda, telah menghindar ke selatan Jakarta.

Perbudakan di Manggarai berkembang pesat seiring berjalannya waktu. Para perempuan bukan hanya dimanfaatkan sebagai tenaga kerja, tetapi juga sebagai korban nafsu bejat kolonial Belanda. Harga budak perempuan mengalami kenaikan dibandingkan dengan budak pria pada abad ke-18.

Bagi orang Belanda kaya, kepemilikan budak menjadi simbol kejayaan dan kemakmuran. Contohnya, van Riemsdijk pada tahun 1782 memiliki puluhan hingga ratusan budak. Kehidupan para budak seringkali penuh penderitaan, dengan siksaan yang kejam sebagai hukuman atas kesalahan.

Pada tahun 1814, terdapat setidaknya 14.239 budak di Batavia, dan baru 40 tahun kemudian praktik perbudakan di Hindia Belanda dihapuskan secara resmi. Meskipun demikian, penjualan budak tetap berlanjut hingga akhir abad ke-19. Sebuah cermin gelap dari masa lalu yang kontras dengan kehidupan sibuk dan modern di Manggarai yang kita kenal saat ini.

Tautan berhasil disalinX
x

Keluar dari JalanTikus

Popup External Background JalanTikus

Apakah anda yakin untuk meninggalkan website JalanTikus?

Ya
Batal