Terdapat perbedaan pendapat mengenai penetapan awal puasa dan lebaran di Indonesia. Hal ini terjadi karena banyaknya organisasi keagamaan Islam di Indonesia yang memiliki pendapat masing-masing, seperti Muhammadiyah hingga NU. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama selalu menentukan awal bulan Ramadan dan Syawal atau lebaran melalui sidang isbat.
Namun, organisasi seperti Muhammadiyah telah lebih dulu menetapkan awal puasa dan lebaran melalui metode hisab atau perhitungan bulan yang telah lama digunakan dalam perhitungan kalender Islam Muhammadiyah.
Perbedaan Metode Penetapan Awal Puasa dan Lebaran
Ada dua kelompok ulama yang berbeda pendapat dalam menetapkan awal bulan Ramadan di Indonesia. Mayoritas ulama dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi i, dan Hanbali menyatakan bahwa awal bulan Ramadhan hanya bisa ditetapkan dengan menggunakan metode rukyat (observasi/ mengamati hilal) atau istikmal, yaitu menyempurnakan bulan Sya ban menjadi 30 hari. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 185 dan hadis Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
Di sisi lain, sebagian ulama seperti Ibnu Suraij, Taqiyyuddin al-Subki, Mutharrif bin Abdullah dan Muhammad bin Muqatil menyatakan bahwa awal puasa dapat ditetapkan dengan metode hisab (perhitungan untuk menentukan posisi hilal). Para ulama ini mengacu pada hadis Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan firman Allah dalam Al-Qur an surah Yunus ayat 5.
Perbedaan penggunaan dua metode inilah yang membuat awal Ramadan dan lebaran di Indonesia sering berbeda antara Muhammadiyah dan pemerintah. Muhammadiyah juga menggunakan kriteria wujudul hilal, yang telah lama dijadikan dasar untuk menentukan awal bulan dalam kalender Islam Muhammadiyah. Sementara pemerintah, merujuk pada kriteria-kriteria visibilitas hilal yang ditetapkan oleh Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS).
Pengaruh Kriteria Penetapan Baru
Kriteria penetapan baru MABIMS diperkenalkan oleh Menteri Agama dari empat negara, termasuk Indonesia pada tahun 2022. Kriteria ini terutama digunakan dalam penentuan awal Ramadan dan hari raya 1443 H. Menurut kriteria baru ini, tinggi hilal minimal harus terlihat sebesar 3 derajat dan elongasi minimal sebesar 6,4 derajat. Hal ini lebih tinggi daripada ketentuan sebelumnya yang hanya membutuhkan tinggi hilal minimal 2 derajat dan elongasi atau jarak sudut bulan ke matahari minimal 3 derajat serta umur bulan minimal 8 jam.
Penerapan kriteria baru ini memberikan pengaruh pada penetapan tanggal awal Ramadan dan lebaran di Indonesia. Meskipun begitu, penetapan tanggal tersebut masih belum pasti karena Kementerian Agama harus melakukan sidang isbat terlebih dahulu pada satu hari sebelum puasa dan lebaran untuk mengamati hilal.
Penutup
Perbedaan pendapat mengenai penetapan awal puasa dan lebaran di Indonesia disebabkan oleh perbedaan metode yang digunakan oleh ulama dan organisasi keagamaan. Muhammadiyah menggunakan metode hisab dan kriteria wujudul hilal, sementara pemerintah merujuk pada kriteria visibilitas hilal dari MABIMS. Meskipun terdapat perbedaan ini, penting bagi umat Islam untuk tetap saling menghormati pendapat satu sama lain dalam menentukan awal Ramadan dan lebaran.