Dari ratusan astronaut yang telah pergi ke luar angkasa sejak beberapa dekade silam, setidaknya 11 orang di antaranya adalah Muslim. Perjalanan luar angkasa menciptakan tantangan tersendiri bagi para astronaut muslim. Pasalnya, praktik ibadah umat Islam ada yang berkaitan dengan geografi bumi seperti menghadap kiblat saat salat. Di sisi lain, pergerakan matahari juga menentukan waktu salat Fardhu serta awal akhir puasa.
Pedoman Puasa di Luar Angkasa
Dr Ismail ibn Musa Menk, ulama Islam terkenal asal Zimbabwe, menjelaskan waktu serta pedoman beribadah salat dan puasa bagi para astronaut yang tengah menjalankan misi ke angkasa luar.
Menurut Mufti Menk, sapaan akrabnya, orang-orang di bumi mengikuti pergerakan matahari dalam waktu satu hari penuh untuk menentukan waktu puasa. Adapun 'hisab' atau perhitungan perlu dilakukan untuk orang yang berada di zona matahari yang tak terbit-terbenam dalam 24 jam.
"Puasa yang dihitung itu dilakukan dengan mempertimbangkan 24 jam dan membaginya sama rata. Jadi berjumlah 12 jam siang dan 12 jam waktu malam. Puasanya berlangsung selama 12 jam. (Untuk) 12 jam pertama dijadikan awal, serta 12 jam akhir dijadikan waktu berbuka puasa dan salat Maghrib," kata Mufti Menk, dikutip dari situs Khaleej Times.
Lebih lanjut, ia berpendapat bahwa puasa tidak diwajibkan bagi astronaut karena termasuk sedang melakukan perjalanan jauh. "Tidak wajib berpuasa saat bepergian, dan astronaut dapat melanjutkan puasanya setelah mencapai bumi," tambahnya.
Begitu juga yang diikuti astronaut asal Emirat, Sultan Al Neyadi, yang pernah menjalankan misi luar angkasa pada 2023 lalu. Ia menjadi bagian dari Crew 6 bersama dengan beberapa astronaut NASA untuk tugas panjangnya di ISS. Kala itu, Al Neyadi menghabiskan bulan Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha di angkasa luar sana.
Dalam konferensi persnya seperti dikutip dari IFL Science, Al Neyadi mengatakan kalau ia mengikuti waktu Universal Coordinated Time (UTC) untuk memulai puasa. Di sisi lain, para astronaut tidak diwajibkan berpuasa demi keselamatan diri dan misi itu sendiri. Makan makanan yang cukup diperlukan untuk mencegahnya kekurangan nutrisi atau hidrasi selama misi dilakukan.
Panduan Salat di Luar Angkasa
Ibadah salat bagi astronaut Muslim juga ada keringanan. Menurut Sheikh Ayaz Housee, seorang Imam dan Khatib di Al Manar Islamic Centre Dubai, seorang astronaut boleh menggabungkan dan meringkas salat Fardhu lima waktunya.
"Jika astronaut sedang bepergian, mereka diperbolehkan salat 'Qashar', dengan hukum salat yang berlaku sebanyak yang dia bisa," ujar Sheikh Housee.
Perihal waktu salat, Mufti Menk menjelaskannya sesuai perhitungan siang dan malam yang dibagi sama rata 12 jam. Pada permulaan waktu siang, astronaut bisa menjalankan salat Subuh. Sementara salat Dzuhur dapat dikerjakan setelah enam jam, dan salat Ashar dilakukan setelah sembilan jam waktu siang.
Adapun salat Maghrib dilaksanakan setelah 12 jam. Dalam hal ini, waktu Maghrib sudah ada di permulaan waktu malam. Sedangkan salat Isya bisa dijalankan dua jam setelah masuk malam hari.
Mufti Menk menambahkan, tata cara salatnya juga dapat dilakukan dalam posisi apa pun sebisanya astronaut. "Jika berada di ruang dan tidak mampu sujud, atau seperti yang kita lakukan di tanah atau berdiri atau dalam posisi salat apa pun, maka kita boleh menggantinya dengan posisi berikutnya yang memungkinkan. Kalau tidak kuat berdiri boleh duduk, kalau tidak kuat berbaring bisa salat," ucapnya.
Mengenai kiblat salat, Mufti Menk mengatakan bahwa Islam memberi pula kemudahan kepada umatnya. "Kiblat atau arah salatnya adalah menghadap ke bumi, dan jika tidak bisa karena tak ada gravitasi, maka dibolehkan menghadap ke bumi ke arah mana saja, dan salat astronautnya tetap sah," jelasnya.