Selain Kurangi Kriminalitas, Hasil Revisi UU ITE Juga Batasi Kreativitas?

Ditulis oleh Epi Kusnara - Tuesday, 29 November 2016, 11:30
30 hari setelah disetujui dalam rapat Paripurna, revisi UU ITE akhirnya resmi berlaku menjadi undang-undang sejak hari ini. Apa saja yang berubah dari UU ITE setelah direvisi?

Setelah disahkan dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat 27 Oktober silam, revisi Undang-Undang ITE (UU ITE) sudah melewati masa 30 hari. Dan terhitung hari ini, 28 Oktober, revisi UU mulai diberlakukan.

Kabarnya, UU ITE direvisi untuk lebih mendemokratisasikan dan menghilangkan multitafsir. Apa saja sih poin baru yang ditambahkan dalam revisi UU ITE ini? Dan bagaimana pendapat masyarakat?

BACA JUGA

    Revisi UU ITE Membatasi Kriminalitas dan Kreativitas?

    Setelah melewati masa 30 hari, Revisi UU ITE sudah resmi menjadi undang-undang yang berlaku. Jadi, siapa saja yang melanggar UU ITE terbaru maka akan dikenakan sanksi.

    Pembaruan UU ITE ini mendapat banyak respon dari masyarakat di Internet bahkan sampai ramai hashtag #FuckUUITE di Twitter. Rata-rata isi hashtag ini menyampaikan kekecewaan karena merasa bahwa UU ITE hanya akan membatasi kreativitas dan kebebasan orang untuk berpendapat.

    Benarkah UU ITE ini akan membuat kebebasan orang berpendapat semakin terbatas? Pasalnya, sejak diberlakukan UU ITE, banyak orang yang dipidanakan karena menyuarakan pendapatnya di Internet.

    Dari kasus-kasus di atas, jelas harus dijadikan acuan agar tidak sembarangan dalam berpendapat atau membuat konten di Internet.

    Poin-Poin Revisi UU ITE

    Jika kamu penasaran, UU ITE direvisi dengan menambahkan 7 poin materi baru yang penting di dalamnya. Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, berharap agar revisi UU ITE bisa memberikan perlindungan hukum dalam pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia.

    Adapun poin-poin yang ditambahkan dalam revisi UU ITE yaitu:

    ADVERTISEMENT

    1. Untuk menghindari multitafsir terhadap ketentuan larangan mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau memungkinkan informasi elektronik dapat diakses yang mengandung penghinaan dan/atau pencemaran nama baik pada ketentuan Pasal 27 ayat (3), dilakukan tiga perubahan sebagai berikut:

    a. Menambahkan penjelasan terkait istilah "mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau memungkinkan informasi elektronik dapat diakses".

    b. Menegaskan bahwa ketentuan tersebut adalah delik aduan, bukan delik umum.

    c. Menegaskan bahwa unsur pidana pada ketentuan tersebut mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan fitnah yang diatur dalam KUHP.



    2. Menurunkan ancaman pidana dengan dua ketentuan, yakni:

    a. Pengurangan ancaman pidana penghinaan atau pencemaran nama baik dari pidana penjara paling lama enam tahun menjadi empat tahun. Sementara penurunan denda dari paling banyak Rp 1 miliar menjadi Rp 750 juta.

    b. Pengurangan ancaman pidana pengiriman informasi elektronik berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti dari pidana penjara paling lama 12 tahun menjadi empat tahun. Pun begitu dengan denda yang dibayarkan, dari paling banyak Rp 2 miliar menjadi Rp 750 juta.



    3. Pelaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap dua ketentuan sebagai berikut:

    a. Mengubah ketentuan Pasal 31 ayat (4) yang semula mengamanatkan pengaturan tata cara intersepsi atau penyadapan dalam Peraturan Pemerintah menjadi dalam Undang-Undang.

    b. Menambahkan penjelasan pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) mengenai keberadaan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah.



    4. Melakukan sinkronisasi ketentuan hukum acara pada Pasal 43 ayat (5) dan ayat (6) dengan ketentuan hukum acara pada KUHAP, sebagai berikut:

    a. Penggeledahan atau penyitaan yang semula harus mendapatkan izin Ketua Pengadilan Negeri setempat, kini disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP.

    b. Penangkapan penahanan yang dulunya harus meminta penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat dalam waktu 1x24 jam, kini disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP.



    5. Memperkuat peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam UU ITE pada ketentuan Pasal 43 ayat (5):

    a. Kewenangan membatasi atau memutuskan akses terkait dengan tindak pidana teknologi informasi.

    b. Kewenangan meminta informasi dari Penyelenggara Sistem Elektronik terkait tindak pidana teknologi informasi.



    6. Menambahkan ketentuan mengenai "right to be forgotten" alias hak untuk dilupakan pada ketentuan Pasal 26 yang terbagi atas dua hal, yakni:

    a. Setiap penyelenggara sistem elektronik wajib menghapus konten informasi elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.

    b. Setiap penyelenggara sistem elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan informasi elektronik yang sudah tidak relevan.



    7. Memperkuat peran pemerintah dalam memberikan perlindungan dari segala jenis gangguan akibat penyalahgunaan informasi dan transaksi elektronik dengan menyisipkan kewenangan tambahan pada ketentuan Pasal 40:

    a. Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan informasi elektronik yang memiliki muatan yang dilarang;

    b. Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada penyelenggara sistem elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap informasi elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.

    ARTIKEL TERKAIT

    10 HP Murah Terbaik & Berkualitas 2021, Spek Tinggi Harga Murah!

    APPS TERKAIT
    Twitter for Android
    Apps Twitter
    Facebook 259.0.0.36.115
    Apps Facebook, Inc.
    Undang-Undang Hukum Pidana varies with device
    Apps Mahoni Global, PT
    Undang-Undang Perpajakan varies with device
    Apps Mahoni Global, PT
    Kembali Keatas