Di abad ke-19, berburu ikan Paus adalah sesuatu yang diidam-idamkan banyak pria. Selain uang, pekerjaan tersebut juga menawarkan kesempatan untuk bertualang ke laut luas dan dorongan adrenalin setiap kali mereka berhadapan dengan raksasa bawah laut tersebut. Sari minyak ikan paus yang dihasilkan dari hasil perburuan tersebut pun sangat berharga dan bisa dijual dengan nilai yang sangat mahal. Bayangkan saja, semua jenis penerangan di jaman tersebut mengandalkan sari minyak ikan paus (karena belum ada minyak tanah dan lainnya).
Sutradara Ron Howard mencoba peruntungannya dengan mengangkat kisah yang menjadi inspirasi karya literatur dunia, Moby-Dick buah tangan Herman Melville tersebut menjadi sebuah dongeng dewasa lewat medium film bertabur bintang ternama. Seperti apa?
Kisah Dua Pria
Di tahun 1850, Herman Meville (Ben Whishaw, SPECTRE) mengunjungi Thomas Nickerson tua (Brendan Gleeson, Edge of Tomorrow) untuk menukar semua tabungan yang ia punya dengan sepenggal cerita berupa kisah nyata mengenai alasan sejati dari tumbangnya kapal pemburu ikan paus yang bernama Essex. Sang penulis yakin Nickerson tidak pernah mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi, dan siap menerima semua konsekuensi dari terkuaknya cerita tersebut. Meski pada awalnya Nickerson menolak, pria paruh baya tersebut akhirnya luluh dan mau menceritakan semuanya.
Menurut Nickerson, kisah karamnya Essex bermula dari persaingan antara dua pria, Captain George Pollard (Benjamin Walker, Abraham Lincoln: Vampire Hunter) dan Kelasi Satu Owen Chase (Chris Hemsworth, THOR) yang berseteru atas kuasa kapal Essex. Pertarungan antar keduanya disaksikan dengan nyata dan gambling oleh Nickerson muda (Tom Holland, The Impossible) sejak layar dinaikkan, hingga akhirnya nasib mempertemukan mereka semua dengan sang paus putih pembunuh yang mengancam nyawa seisi awak kapal.
Manusia dan Monster
Batas tipis antara siapa yang sejatinya menjadi pahlawan dalam film ini terus ditempa, mulai dari pergulatan Chase melawan ikan paus buruannya, hingga perburuan balik sang monster terhadap sisa-sisa manusia yang berhasil keluar hidup-hidup setelah serangan pertamanya. Sungguh suatu alegori yang menarik, dan terus menerus mengingatkan penonton bahwa film ini bukanlah Moby Dick, tapi kisah cikal bakal dari literatur kelas dunia tersebut.
Dari segi sinematografi sendiri, Ron Howard memilih sudut-sudut unik dan tidak umum, entah itu dari atas sang paus, hingga ujung tangan salah seorang kru kapal Essex. Semua tergambarkan dengan detil, jika pun ada satu kekurangan, mungkin dari segi penerapan efek 3D yang ditawarkan. Meski adegan-adegan tersebut dirancang untuk melahirkan efek 3D yang mengesankan, sayangnya hanya sedikit sekali yang berhasil _ pop-out _. Meski demikian, kisah dan akting dalam film ini sudah lebih dari cukup untuk membuat penonton duduk dan terkesima selama durasi penayangan yang dua jam lamanya. Apalagi jika kamu termasuk penggemar petualangan laut dan suka akan cerita-cerita dengan setting abad ke-19.
