Sebuah fenomena unik muncul di kota Shenzhen, Tiongkok, di mana sejumlah wanita muda menawarkan jasa "pacar sehari" di pinggir jalan. Fenomena ini menjadi viral di media sosial dan memicu beragam tanggapan dari masyarakat.
Dilansir dari NetEase News, para wanita ini duduk di kaki lima sambil membentangkan tulisan yang menawarkan berbagai jasa. Mulai dari pelukan seharga 1 yuan (sekitar Rp 2.000), ciuman 10 yuan (Rp 22.000), hingga menonton film bersama dengan tarif 15 yuan (Rp 33.000).
Beberapa wanita bahkan menawarkan jasa tambahan seperti membantu pekerjaan rumah tangga seharga 20 yuan (Rp 44.000) dan menemani minum dengan tarif 40 yuan (Rp 90.000). Seorang wanita pernah viral karena menawarkan jasa "pacar satu hari" seharga 600 yuan (sekitar Rp 1,3 juta).
Meski demikian, para wanita ini tegas menyatakan bahwa mereka tidak melayani permintaan seksual.
Salah satu penyedia jasa mengungkapkan, "Aku bisa menawarkanmu perhatian terhangat, termasuk makan bersama, pelukan, ciuman, tapi tidak seks."
Fenomena ini ternyata cukup menguntungkan bagi para wanita tersebut. Dalam sehari, mereka bisa mengantongi setidaknya 100 yuan (sekitar Rp 224.000). Namun, praktik ini juga menuai beragam komentar dari netizen.
Sebagian netizen memandang positif fenomena ini. "Gadis-gadis ini bisa menghabiskan waktu di akhir pekan dan bertemu dengan banyak orang yang menarik. Aku juga ingin mencoba dan mengobrol dengan mereka," tulis seorang netizen. Ada pula yang menganggap aktivitas ini sebagai cara untuk menghilangkan stres dan bersosialisasi.
Namun, tidak sedikit pula yang mengkhawatirkan dampak negatif dari praktik ini, terutama terkait keamanan dan potensi eksploitasi terhadap para wanita yang terlibat.
Fenomena "pacar sehari" ini mencerminkan kompleksitas permasalahan sosial di era modern, di mana kebutuhan akan interaksi sosial dan kasih sayang bersinggungan dengan nilai-nilai tradisional dan etika sosial. Meski dianggap sebagai solusi bagi mereka yang kesepian, praktik ini juga menimbulkan pertanyaan tentang batas-batas moral dan dampaknya terhadap hubungan interpersonal yang sehat.
Terlepas dari kontroversi yang ditimbulkan, fenomena ini menjadi cerminan perubahan sosial yang terjadi di masyarakat Tiongkok kontemporer, sekaligus memicu diskusi lebih lanjut tentang konsep hubungan, kasih sayang, dan nilai-nilai sosial di era digital.