Di balik gunungan sampah Bantar Gebang, terdapat sebuah sekolah kecil dan sederhana yang menjadi harapan bagi anak-anak pemulung dan keluarga kurang mampu. Yayasan Tunas Mulia, yang berlokasi di Jalan Pangkalan II, RT 02 RW 04 Kelurahan Sumur Batu, Kecamatan Bantar Gebang, Kota Bekasi telah memberikan pencerahan bagi mereka selama lebih dari 20 tahun.
Salah satu kisah inspiratif datang dari Nurjanah (28), mantan siswa Sekolah Alam Tunas Mulia. Meski berasal dari keluarga tidak mampu dan orangtuanya tidak dapat membiayai pendidikannya setelah lulus SD, Nurjanah sangat ingin melanjutkan sekolahnya. Akhirnya, dia diperkenalkan dengan Sekolah Alam Tunas Mulia yang menawarkan pendidikan gratis 100 persen.
Juwarto, ketua sekaligus pendiri Yayasan Tunas Mulia, mengungkapkan bahwa sekolah ini telah mencetak tujuh orang sarjana dan saat ini memiliki enam siswa yang sedang menempuh kuliah. "Mereka adalah generasi pertama dari keluarga pemulung kita," ungkapnya.
Awalnya Nurjanah sempat meragukan tentang klaim tersebut. Namun setelah mendaftar dan masuk ke sekolah itu, dia terkejut karena diberikan seperangkat alat tulis serta tas sekolah secara gratis. "Di sini kita diberi buku untuk belajar. Selain itu, kami juga mendapatkan seperangkat alat tulis dan tas," ungkap Nurjanah.
Dengan tekad yang kuat untuk terus bersekolah, Nurjanah melanjutkan pendidikannya di SMP Tunas Mulia setelah lulus dari SD. Setelah itu, dia mendapatkan beasiswa dari Yayasan Tunas Mulia untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat SMK di luar yayasan karena saat itu belum ada SMA di lingkungan yayasan.
Semangat Nurjanah dalam mengejar pendidikan tak berhenti sampai di situ. Dia berhasil meraih gelar sarjana psikologi dari Universitas Jayabaya.
Sekarang, Nurjanah telah mengabdi sebagai staf pengajar di Tunas Mulia selama sekitar empat tahun. Dia mengajar di semua jenjang pendidikan mulai dari PAUD hingga SMA.
Yayasan Tunas Mulia ini didirikan oleh Juwarto dan rekannya Nadam Dwi Subekti pada tahun 2004. Juwarto merasa prihatin melihat anak-anak pemulung yang kesulitan mendapatkan pendidikan yang layak. Inisiatif tersebut membuat sekolah ini berkembang pesat dari mulut ke mulut. Saat ini, lebih dari 350 siswa dari berbagai jenjang pendidikan bergabung dengan sekolah ini.
Berbeda dengan sekolah formal pada umumnya, sekolah ini dimulai pada pukul 13.00-16.00 WIB karena anak-anak harus membantu orangtua mereka memilah sampah di pagi hari. Meskipun demikian, mata pelajaran wajib tetap ada namun dilaksanakan dalam waktu singkat sekitar 30-40 menit. Setelah itu, anak-anak belajar sambil bertindak, misalnya menjaga lingkungan, bertani, dan berkebun.
Selama mengajar di Tunas Mulia, Nurjanah juga menghadapi tantangan dalam menjaga motivasi dan kesadaran siswa terhadap pendidikan. Namun dia tetap berusaha untuk membuat mereka tertarik dan semangat dalam belajar.
Kisah inspiratif Nurjanah ini menjadi bukti bahwa dengan adanya sekolah seperti Yayasan Tunas Mulia, anak-anak pemulung bisa mewujudkan mimpi mereka menjadi sarjana. Semoga lebih banyak lagi lembaga pendidikan yang menyediakan kesempatan serupa bagi anak-anak yang kurang mampu sehingga mereka dapat memiliki masa depan yang lebih baik.