Kontroversi Artis AI dari Aktor Lawas: Menghidupkan Kembali Legenda atau Mencuri Identitas?

Ditulis oleh Tanri Haidi - Thursday, 02 October 2025, 15:00
Aktor legendaris 'hidup' kembali di film baru berkat AI. Apakah ini sebuah penghormatan indah atau eksploitasi warisan mereka? Selami kontroversi etisnya di sini!

Q: Penggunaan AI untuk menghidupkan kembali aktor lawas: penghormatan atau pencurian identitas?

A: Jawabannya berada di spektrum antara keduanya dan sangat bergantung pada persetujuan, niat, dan eksekusi. Hal ini dapat dianggap sebagai penghormatan. Sebaliknya, tindakan ini berisiko menjadi pencurian identitas atau eksploitasi jika dilakukan tanpa persetujuan yang jelas, semata-mata untuk keuntungan komersial.

Gengs, pernah enggak kamu membayangkan kalau para aktor atau aktris legendaris yang sudah tiada bisa 'hidup' kembali di layar lebar? Bukan dalam bentuk arsip film lama, melainkan sebagai karakter baru yang tampil seolah-olah mereka masih ada di antara kita. Kedengarannya seperti fiksi ilmiah, ya? Tapi, dengan perkembangan pesat teknologi Kecerdasan Buatan (AI) di tahun 2025, hal ini bukan lagi sekadar khayalan, lho!

BACA JUGA
  • 10+ Prompt Gemini AI untuk Foto Profil LinkedIn ala Profesional (Gratis!)
  • 25+ Prompt Gemini AI Photobox Paling Estetik dan Kekinian
  • Bagaimana Cara Membuat Foto Polaroid Bareng Seleb Idaman Pakai Gemini AI?
  • Lagi Viral! Ini Prompt Gemini AI untuk Membuat Foto ala Photobox Bareng Avatar Roblox
  • Cara Memperbaiki Foto Lama yang Blur dan Pecah Pakai Prompt Gemini AI

Contoh nyata dari fenomena ini adalah Tilly Norwood, seorang "artis AI" fotorealistik yang diciptakan oleh studio Particle6 dan langsung mengguncang Hollywood dengan kontroversinya. Serupa dengan itu, legenda Hollywood James Dean, yang meninggal hampir tujuh dekade lalu, dijadwalkan untuk 'dibangkitkan' kembali secara digital untuk membintangi film baru berjudul Back to Eden. Kedua kasus ini mengangkat isu forensik digital dan etika nekromansi yang semakin relevan.

Jaka mau ajak kamu bahas tuntas fenomena artis AI yang dibangun dari aktor lawas dan juga kasus-kasus seperti Tilly Norwood. Apakah ini bentuk penghormatan yang indah atau justru eksploitasi warisan digital yang melanggar batas etika? Yuk, kita telusuri bersama, Gengs!

Studi Kasus Nyata: Ketika Legenda Bangkit dari 'Kuburnya' di Layar Lebar

Sumber foto: Peter Cushing sebagai Grand Moff Tarkin di waralaba film Star Wars

Jaka yakin kamu pasti pernah dengar soal Peter Cushing, aktor legendaris yang memerankan Grand Moff Tarkin di film Star Wars: A New Hope. Nah, Gengs, beliau ini sudah meninggal dunia di tahun 1994. Tapi, tahu tidak? Di film Rogue One: A Star Wars Story (2016), karakternya, Grand Moff Tarkin, kembali muncul di layar! Bukan dengan aktor pengganti biasa, melainkan menggunakan teknologi CGI yang canggih untuk memproyeksikan wajah Cushing ke aktor lain.

Ini bukan kali terakhir Peter Cushing 'dihidupkan' kembali, lho. Dalam dokumenter Hammer: Heroes, Legends and Monsters yang tayang di Sky Arts, citra Cushing juga kembali digunakan berkat AI, seperti yang dilansir Deadline. Keluarga Cushing sendiri bahkan sangat terlibat dan terkesima dengan hasilnya saat menonton premier film Rogue One.

Sumber foto: James Dean

Selain Peter Cushing, ada juga kasus James Dean, aktor ikonik yang meninggal di usia muda. Hampir tujuh dekade setelah kepergiannya, ia dijadwalkan akan membintangi film baru berjudul Back to Eden dalam bentuk klon digital yang dibuat menggunakan teknologi AI mirip deepfake, sebuah contoh nyata fenomena aktor virtual AI seperti yang dibahas BBC. Klon digital Dean ini nantinya akan berjalan, berbicara, dan berinteraksi di layar dengan aktor lain, memungkinkan avatar digital tidak hanya menjadi model CGI pasif, tetapi juga berinteraksi di platform interaktif seperti augmented reality, virtual reality, dan gaming, seperti yang dijelaskan Chesa.

ADVERTISEMENT

Teknologi AI ini juga digunakan untuk proses de-aging atau membuat aktor terlihat lebih muda, seperti yang terlihat pada film The Irishman (2019). Dalam film ini, AI digunakan untuk menghilangkan kerutan dari wajah aktor-aktor kawakan seperti Robert De Niro, Al Pacino, dan Joe Pesci, sehingga mereka bisa memerankan versi muda karakter mereka secara mulus dan realistis. Semua ini adalah bukti nyata bagaimana AI mampu 'mengutak-atik' identitas visual dan audio seseorang yang sudah tiada.

20+ Prompt Gemini AI Untuk Face Swap, Gampang & Gratis!
Mau coba face swap pakai Gemini AI? Jaka kasih 20+ contekan prompt terbaik untuk menukar wajahmu dengan karakter film, tokoh sejarah, atau temanmu!
LIHAT ARTIKEL

Artis AI dari Aktor Lawas: Penghormatan atau Eksploitasi Warisan?

Nah, di sinilah letak perdebatan sengitnya, Gengs. Ketika kita melihat seorang aktor yang sudah tiada 'muncul' lagi di film, apakah ini bisa kita sebut sebagai penghormatan terhadap karyanya atau justru eksploitasi warisan digitalnya? Lagipula, orang yang bersangkutan sudah tidak bisa memberikan izin atau menolak, kan?

Beberapa pihak berpendapat bahwa ini adalah bentuk penghormatan, sebuah cara untuk memperkenalkan karya dan citra mereka kepada generasi baru, atau bahkan melanjutkan "karir" mereka yang terputus. Teknologi AI generatif yang semakin canggih di tahun 2025, seperti Claude 3.7 Sonnet dari Anthropic, memang memungkinkan pembuatan konten otomatis yang luar biasa realistis, termasuk karakter digital.

Namun, di sisi lain, banyak juga yang khawatir ini adalah bentuk eksploitasi. Bayangkan, Gengs, jika citra digital seseorang digunakan untuk tujuan komersial tanpa persetujuan, atau bahkan untuk peran yang mungkin tidak mereka inginkan semasa hidup.

Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang hak cipta digital, hak kepribadian, dan terutama, etika. Apakah warisan digital seseorang bisa dianggap sebagai properti yang bisa diwariskan dan digunakan oleh pihak lain secara bebas? Aktor bisa merasa kehilangan kendali atas citra mereka dan harus bersaing dengan karakter digital, yang berpotensi mengurangi penghargaan terhadap bakat mereka.

Jejak Digital: Bahan Baku 'Pembangkitan' Digital

Kamu tahu tidak, Gengs? Semua data kita di internet foto, video, postingan media sosial, bahkan rekaman suara adalah jejak digital yang tidak akan pernah hilang. Jejak digital ini akan terus abadi dan menjadi 'bahan baku' yang sangat berharga bagi teknologi AI di masa depan.

Di tahun 2025, dengan kemajuan AI generatif yang mampu menciptakan teks, gambar, dan kode berkualitas tinggi, serta agen AI yang bisa menjalankan alur kerja kompleks (seperti prediksi dari Botpress), data-data ini bisa dianalisis dan digunakan untuk 'membangkitkan' kita secara digital.

Bayangkan saja, Gengs. Suatu hari nanti, AI bisa menciptakan kembaran digital kamu yang mampu berinteraksi, berbicara, bahkan 'berakting' layaknya kamu, hanya dengan modal jejak digital yang kamu tinggalkan sekarang. Ini adalah konsep Forensik Digital yang sangat penting, di mana kita perlu memahami bagaimana data digital dikumpulkan, dianalisis, dan potensi penggunaannya.

Forensik digital sendiri merupakan cabang ilmu forensik yang berfokus pada penyelidikan dan penemuan konten dari perangkat digital, seringkali terkait dengan kejahatan komputer, namun kini meluas untuk semua perangkat yang dapat menyimpan data digital..

Pertanyaannya, apakah kita siap dengan kenyataan bahwa data kita bisa 'menghidupkan' kembali versi digital diri kita setelah tiada? Dan siapa yang berhak mengontrol penggunaan 'kembaran digital' tersebut? Ini semua adalah tantangan etika dan hukum yang harus kita hadapi seiring dengan makin canggihnya AI.

Perspektif Kerabat: Antara Kebanggaan dan Keberatan

Bagaimana, sih, perasaan keluarga yang ditinggalkan melihat orang yang mereka cintai 'hidup' kembali untuk kepentingan komersial? Ini bukan pertanyaan mudah, Gengs, dan jawabannya pun bisa sangat bervariasi.

Dalam kasus Peter Cushing, keluarga beliau menyetujui dan bahkan terlibat dalam proses 'pembangkitan' citra Grand Moff Tarkin di Rogue One. Mantan sekretarisnya, Joyce Broughton, awalnya menyetujui rekonstruksi tersebut dan terkesima dengan hasilnya setelah menonton premier. Bagi mereka, ini mungkin adalah bentuk penghormatan dan kebanggaan melihat warisan Peter Cushing terus hidup.

Namun, tidak semua keluarga akan merasa demikian. Beberapa mungkin merasa bahwa penggunaan citra orang yang mereka cintai tanpa persetujuan langsung dari almarhum adalah tindakan yang tidak etis, bahkan melanggar privasi dan kenangan. Misalnya, dalam kasus James Dean, sepupunya mengungkapkan perasaan campur aduk. Ia ingin citra Dean dihormati dan diproyeksikan dengan cara yang sesuai dengan dedikasinya pada akting.

Isu ini menggarisbawahi pentingnya kerangka hukum dan etika yang jelas terkait dengan penggunaan data digital seseorang setelah meninggal dunia. Siapa yang memiliki hak untuk memutuskan? Apakah ada batasan moral dalam menghidupkan kembali seseorang secara digital, terutama jika potensi keuntungan komersial begitu besar?

Bagaimana Forensik Digital Berperan?

Forensik digital menjadi sangat krusial dalam konteks ini. Ilmu ini bukan hanya soal melacak kejahatan siber. Dalam isu artis AI ini, forensik digital juga dapat digunakan untuk:

Penggunaan AI yang etis dan bertanggung jawab adalah proses pembelajaran berkelanjutan, loh. Singapura, misalnya, telah memperbarui kerangka tata kelola AI-nya pada tahun 2020, menekankan pentingnya keterlibatan manusia dalam pengambilan keputusan yang bertanggung jawab.

FAQ: Pertanyaan Seputar Artis AI dan Etika Digital

Q: Apa itu Artis AI ?

A: Artis AI adalah entitas digital yang diciptakan menggunakan kecerdasan buatan, CGI, dan motion capture untuk tampil dalam film, acara TV, atau media interaktif. Mereka dapat meniru perilaku, ekspresi, dan pola suara manusia, bahkan berkinerja secara otonom. Contohnya Tilly Norwood, karakter digital fotorealistik yang dibuat oleh studio AI Particle6.

Q: Apakah penggunaan artis AI dari orang yang sudah meninggal legal?

A: Legalitasnya masih menjadi area abu-abu dan sangat tergantung pada yurisdiksi serta perjanjian hak cipta yang ada. Banyak negara belum memiliki regulasi spesifik untuk 'nekromansi digital' ini, sehingga seringkali bergantung pada interpretasi hukum warisan dan hak kepribadian.

Q: Bisakah AI menggantikan aktor manusia sepenuhnya di masa depan?

A: Meskipun AI membuat kemajuan pesat dalam menciptakan aktor virtual yang realistis, peran aktor manusia yang membawa emosi, nuansa, dan pengalaman unik masih sangat krusial. Namun, ada kekhawatiran bahwa AI dapat memangkas kebutuhan akan aktor fisik dan membutuhkan regulasi untuk memastikan etika dan keadilan dalam industri kreatif.

Q: Bagaimana cara melindungi jejak digital saya agar tidak disalahgunakan di masa depan?

A: Kamu bisa lebih berhati-hati dalam berbagi informasi pribadi secara daring, menggunakan pengaturan privasi yang ketat di media sosial, dan secara berkala membersihkan atau menghapus data yang tidak lagi diperlukan. Selain itu, kamu bisa membuat wasiat digital yang mengatur bagaimana data dan identitas digitalmu ingin ditangani setelah kamu tiada.

Akhir Kata

Fenomena forensik digital dan etika nekromansi artis AI dari aktor lawas ini memang bikin kita mikir keras, Gengs. Di satu sisi, teknologi ini membuka peluang kreativitas tanpa batas dan memungkinkan kita 'menghidupkan' kembali kenangan indah.

Di sisi lain, ada batas etika yang tipis antara penghormatan dan eksploitasi yang harus kita jaga. Perkembangan AI di tahun 2025 memang luar biasa, tapi tanggung jawab untuk menggunakannya secara bijak ada di tangan kita semua. Jaka harap, artikel ini bisa membuka wawasan kamu dan bikin kamu makin bijak dalam berinteraksi dengan dunia digital, ya!

Baca artikel dan berita menarik dari JalanTikus lainnya di Google News

Kembali Keatas