Pada tahun 1998, seorang pria Jepang bernama Tomoaki Hamatsu, yang dikenal dengan nama panggung Nasubi, mengalami pengalaman yang mengejutkan sebagai bagian dari sebuah acara realitas televisi. Nasubi ditinggalkan sendirian di sebuah apartemen kosong hanya dengan pena, beberapa kartu pos kosong, telepon, dan rak berisi majalah. Tantangan acara ini adalah melihat apakah Nasubi bisa bertahan hidup hanya dengan hadiah dari kompetisi yang dia ikuti.
Nasubi harus memenangkan hadiah dengan total nilai 1 juta yen, atau sekitar Rp124 juta, untuk menyelesaikan tantangan tersebut. Selama 15 bulan, Nasubi terkurung dalam apartemen tersebut, mengalami depresi akibat rasa lapar dan keterasingan. Kisahnya kembali diulas dalam film dokumenter "The Contestant" yang baru saja diputar di Sheffield Documentary Festival.
"Saya menemukan kisah Nasubi saat mengerjakan proyek lain," kata Clair Titley, sutradara film dokumenter tersebut.
"Banyak informasi yang saya temukan merendahkan Nasubi. Tidak ada yang benar-benar mendalami kisahnya. Saya ingin tahu mengapa dia berada di sana dan dampaknya terhadap dirinya."
Nasubi dipilih secara acak dalam audisi terbuka dan tahu bahwa dirinya sedang difilmkan. Namun, ia tidak mengetahui bahwa rekaman tersebut akan disiarkan. Realitasnya, Nasubi, yang saat itu berusia 22 tahun, menjadi salah satu selebritas terbesar di Jepang berkat popularitas segmen acara reality show "Denpa Shonen". Meskipun kritikus tidak menyukai program tersebut, acara ini menarik banyak penonton muda.
Acara tersebut mulai ditayangkan sebelum "The Truman Show", yang dibintangi Jim Carrey, dan sebelum "Big Brother" diluncurkan di Belanda. Meskipun program tersebut menjadi pelopor reality show, hanya sedikit yang mengetahui tentang segmen "A Life in Prizes".
"Saya rasa orang-orang lebih banyak mendengar tentang acara ini dalam dekade terakhir, sejak YouTube berkembang," ujar Titley kepada BBC News. "Saat itu, acara ini tidak pernah ditayangkan di luar Jepang dan Korea Selatan."
Nasubi adalah seorang calon komedian kala itu. Ia tidak tahu banyak tentang tantangan yang akan dihadapi sebelum acara dimulai. Ia ditinggalkan di ruangan tanpa jendela, tanpa pakaian, atau kebutuhan pokok, dan tanpa kontak dengan dunia luar. Selama acara berlangsung, Nasubi memenangkan berbagai hadiah, namun banyak dari hadiah tersebut tidak berguna seperti ban, bola golf, tenda, dan makanan anjing.
Produser acara tidak terlalu memperhatikan kondisi Nasubi yang semakin lemah, dan salah satu dari mereka menyatakan bahwa Nasubi bisa saja meninggal jika tidak memenangkan hadiah beras. Sekitar 15 juta pemirsa menyaksikan perjuangan Nasubi untuk bertahan hidup, sementara ia tetap telanjang karena tidak pernah memenangkan pakaian (kelaminnya ditutupi oleh emoji terong yang ditambahkan oleh produser).
Pintu apartemen itu tidak dikunci, dan Nasubi secara teori bisa pergi kapan saja, namun ia tidak melakukannya. Titley berpendapat bahwa Nasubi sangat sabar dan patuh, serta memiliki semangat Samurai untuk menang dan bertahan.
Film dokumenter "The Contestant" menampilkan wawancara terbaru dengan Nasubi dan produser acara tersebut, Toshio Tsuchiya. Meskipun banyak dari cerita tersebut termuat dalam rekaman asli, penonton dokumenter mengikuti perkembangan Nasubi dengan cara yang sama seperti penonton televisi pada waktu itu.
Titley dan timnya berusaha membuat rekaman asli bisa dipahami oleh penonton berbahasa Inggris dengan mengganti grafis Jepang dengan padanan bahasa Inggris dan menciptakan kembali audionya seakurat mungkin.
Dokumenter yang dirilis di Hulu AS ini memukau sejumlah kritikus yang mengaku terpesona sekaligus muak dengan cobaan berat Nasubi. David Fear dari Rolling Stone menggambarkannya sebagai "kecelakaan mobil yang membuat penonton tidak bisa berpaling" dan menyatakan bahwa itu adalah "kronik fenomena media dan mimpi buruk psikologis yang dikemas sebagai hiburan".
Hampir tiga dekade kemudian, Nasubi menggambarkan acara tersebut sebagai "kejam" dan menambahkan bahwa "tidak ada kebahagiaan dan kebebasan". Meskipun demikian, ia tidak tampak terpuruk akibat pengalaman tersebut dan merasa berada dalam situasi yang sangat positif sekarang. Nasubi menegaskan bahwa meskipun ia tidak ingin melakukannya lagi, ia tidak menyesali pengalaman tersebut karena membentuk dirinya seperti sekarang.
Film dokumenter ini mengangkat pertanyaan tentang batas tegas dalam acara hiburan dan tanggung jawab penonton serta industri televisi dalam menyikapi acara seperti ini.
"Saya ingin orang-orang merenungkan hubungan mereka dengan media sosial dan acara televisi realitas," ujar Titley. "Dan seberapa terlibatnya kita sebagai penonton dan konsumen."