Gurun Sahara, yang terkenal akan kekeringannya, kini menunjukkan fenomena mengejutkan. Area yang biasanya tandus, kini mendadak hijau. Perubahan ini dipicu oleh hujan deras yang tidak biasa, dan ilmuwan mulai mencemaskan dampaknya terhadap lingkungan dan kehidupan manusia.
Apakah Gurun Sahara mendadak hijau ini menjadi pertanda kiamat lingkungan yang lebih serius?
Fenomena Hijau yang Mencemaskan
Satelit terbaru menangkap momen ketika vegetasi tumbuh subur di bagian selatan Sahara, setelah badai yang seharusnya tidak terjadi. Menurut para peneliti, Gurun Sahara mendadak hijau karena pemanasan global yang diakibatkan oleh polusi udara berkontribusi terhadap perubahan iklim ini. Hal ini kemudian menjadi fenomena yang tidak biasa lebih mungkin terjadi.
Musim Monsun Afrika Barat, yang biasanya berlangsung dari Juli hingga September, kali ini mengalami pergeseran yang signifikan. Badai yang seharusnya berada di daerah utara khatulistiwa, kini merambat jauh ke selatan, membuat Gurun Sahara mendadak hijau. Beberapa bagian gurun tersebut tercatat mengalami curah hujan dua hingga enam kali lipat dari normal.
Penyebab Pergeseran Iklim
Karsten Haustein, seorang peneliti iklim dari Universitas Leipzig, menjelaskan dua faktor utama yang mungkin menyebabkan pergeseran ini. Pertama, perubahan dari fenomena El Nino ke La Nina memengaruhi pola pergerakan zona konvergensi intertropis selama musim panas. Selain itu, pemanasan global menjadi faktor yang signifikan.
Zona Konvergensi Intertropis yang menyebabkan penghijauan di Afrika bergerak lebih ke utara seiring dengan meningkatnya suhu Bumi, ungkap Haustein. Temuan dari jurnal Nature bulan Juni menunjukkan bahwa pergeseran ini dapat terjadi lebih sering di masa depan, sejalan dengan peningkatan kadar karbon dioksida dan suhu global.
Namun, perubahan ini tidak hanya menghijaukan Sahara. Dampak iklim yang tidak terduga ini juga mengguncang musim badai Atlantik dan memengaruhi negara-negara di sekitarnya. Negara yang seharusnya mendapatkan curah hujan lebih banyak justru mengalami kekurangan air.
Di Nigeria dan Kamerun, daerah yang biasanya mendapatkan hujan antara 20 hingga 30 inci dari Juli hingga September kini hanya menerima 50 hingga 80 persen dari jumlah tersebut. Sementara itu, wilayah yang lebih kering, seperti Niger, Chad, Sudan, Libya, dan Mesir selatan, justru menerima curah hujan lebih dari 400 persen dari normalnya sejak pertengahan Juli.
Sebagai contoh, wilayah utara Chad, yang biasanya hanya menerima satu inci hujan, kini tercatat menerima antara 3 hingga 8 inci. Akibatnya, banjir hebat melanda daerah tersebut, mempengaruhi hampir 1,5 juta orang dan mengakibatkan lebih dari 340 kematian. Nigeria dan Sudan juga mengalami bencana serupa, dengan ribuan orang terpaksa mengungsi akibat banjir mematikan.
Haustein menekankan bahwa kejadian banjir ini kemungkinan terkait dengan perubahan iklim. Suhu Bumi yang meningkat memungkinkan lebih banyak uap air terperangkap di atmosfer, yang pada gilirannya meningkatkan intensitas musim hujan dan memicu banjir yang lebih parah.
Apakah Ini Pertanda Kiamat?
Dalam konteks ini, fenomena penghijauan Gurun Sahara mendadak hijau menjadi simbol dualitas; keindahan alam yang muncul bersamaan dengan ancaman bencana. Dengan perubahan iklim yang semakin nyata, banyak orang bertanya, apakah fenomena penghijauan Gurun Sahara ini menjadi pertanda akan kiamat lingkungan yang lebih serius?
Perubahan ini menunjukkan bahwa kita perlu waspada dan beradaptasi menghadapi kemungkinan dampak lingkungan yang lebih besar di masa depan. Bagaimana pandanganmu tentang situasi ini?
Baca artikel dan berita menarik dari JalanTikus lainnya di Google News