Sebuah penelitian terbaru mengungkap metode deteksi dini gempabumi besar. Luar biasanya potensi peringatan ini dapat muncul beberapa hari hingga berbulan-bulan sebelum peristiwa terjadi.
Metode ini didasarkan pada pengidentifikasian aktivitas tektonik berskala kecil yang pernah terjadi sebelumnya. Penelitian ini dipimpin oleh ilmuwan geofisika, Tarsilo Girona, dari Universitas Alaska Fairbanks, Amerika Serikat, dan dipublikasikan di Nature Communications pada 28 Agustus 2024.
Bisa Prediksi Sebulan Sebelum Terjadi
Girona bersama timnya fokus pada aktivitas seismik abnormal, khususnya pada dua gempa besar. Gempa Anchorage berkekuatan 7,1 SR pada 2018 dan gempa Ridgecrest di California dengan kekuatan 6,4 hingga 7,1 SR pada 2019.
Peneliti menemukan adanya sejumlah gempa kecil, di bawah magnitudo 1,5, yang terjadi beberapa bulan sebelum kedua gempa besar tersebut. Frekuensi gempa kecil ini tercatat meningkat sekitar 15-25% di Alaska Tengah dan California Selatan.
Dari hasil pengamatan, gempa berkekuatan rendah ini diduga berhubungan erat dengan tekanan fluida pori dalam patahan, yang meningkat secara signifikan. Tekanan fluida tersebut mengacu pada tekanan cairan yang terkandung dalam batuan, yang diduga memicu aktivitas seismik berskala kecil.
Pada gempa Anchorage, prediksi gempa dapat dilakukan dalam jangka waktu antara beberapa hari hingga tiga bulan sebelum kejadian. Sementara itu, gempa Ridgecrest diperkirakan bisa dideteksi hingga 40 hari sebelumnya.
Pembelajaran mesin dianggap memiliki peran besar dalam penelitian ini. Jaringan seismik modern menghasilkan data dalam jumlah besar yang, jika dianalisis dengan algoritma komputer, dapat memberikan petunjuk penting terkait prekursor gempa besar.
Meski hasilnya menjanjikan, para peneliti menegaskan bahwa algoritma ini perlu diuji dalam kondisi mendekati real-time untuk mendeteksi gempa secara efektif. Selain itu, algoritma harus dilatih dengan data historis dari wilayah tertentu sebelum diterapkan di wilayah baru.
BMKG: Megathrust di Indonesia Tinggal Menunggu Waktu
Bagaimana kondisi di dalam negeri? Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) baru-baru ini menyoroti ancaman gempa megathrust di Indonesia, khususnya di Selat Sunda serta kawasan Mentawai-Siberut.
Peringatan ini disampaikan menyusul gempa besar yang mengguncang Jepang beberapa waktu lalu, mengingatkan kembali betapa rentannya kawasan Cincin Api Pasifik terhadap aktivitas seismik. Gempa megathrust, yang berpotensi mencapai kekuatan di atas magnitudo 8, berisiko memicu tsunami yang mengancam wilayah pesisir.
Daryono, Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, mengungkapkan bahwa gempa megathrust di dua zona tersebut "hanya masalah waktu." Pernyataan ini mengacu pada fakta bahwa gempa megathrust terakhir di Selat Sunda dan Mentawai-Siberut terjadi lebih dari 200 tahun lalu.
Namun, Daryono menegaskan bahwa pernyataan tersebut tidak mengindikasikan bahwa gempa akan terjadi dalam waktu dekat. Melihat apa yang ilmuwan AS klaim, Indonesia mungkin perlu belajar untuk bisa meprediksi gempa dari jauh hari dengan memanfaatkan teknologi pembelajaran mesin.
Baca artikel dan berita menarik lainnya dari JalanTikus di Google News