Ada kisah menarik yang dituturkan Nio Joe Lan, salah satu tawanan Jepang yang merupakan seorang jurnalis pada masanya. Ia berbagi pengalaman hidup sebagai tawanan yang perjalanan hidupnya itu diterbitkan dalam sebuah buku.
Buku tersebut berjudul "Dalem Tawanan Djepang (Boekit Doeri-Serang-Tjimahi): Penoetoeran Pengidoepan Interneeran Pada Djeman Pendoedoekan Djepang".
Buku ini pertama kali diterbitkan oleh Lotus Company pada 1946, lalu Komunitas Bambu menerbitkan ulang buku ini 62 tahun kemudian - seperti dikutip National Geographic.
Mengalami tekanan maupun kondisi hidup yang serba sulit saat menjadi tawanan Jepang, bahkan ia sampai harus membuat roti berbiang air kencing. Seperti apa kisah Nio Joe Lan yang bisa bertahan hidup dalam kondisi yang mengkhawatirkan? Simak, yuk, geng!
Jadi Tawanan Jepang di Usia 38 Tahun
Nio adalah seorang jurnalis yang kariernya berawal di majalah Penghiboer. Kemudian, karier-nya berlanjut di surat kabar Keng Po serta harian Sin Po. Nio juga gemar menulis tentang kebudayaan masyarakat Tionghoa. Karya tulis Nio menginspirasi para peneliti budaya Tionghoa di Indonesia.
Saat usianya menginjak 38 tahun, ia beserta orang-orang Tionghoa dari beberapa kota di Jawa menjadi tawanan Jepang.
Saat riwayat Hindia Belanda baru saja usai, warga Belanda atau keturunannya dikumpulkan dalam kamp-kamp tawanan Jepang. Khusus kepada warga Tionghoa, Jepang melakukan tindakan keras kepada mereka yang dianggap pro-Chungking dan anti-Jepang.
Dalam tawanan ada opsir China, pemuka warga, dan jurnalis yang terlihat tidak pernah terbukti melakukan perlawanan anti-Jepang.
Awalnya warga Tionghoa ditawan di Boekit-Doeri, kemudian pindah ke Serang. Lalu mereka dipindahkan sekali lagi ke Cimahi, tinggal bersama warga kulit putih hingga akhir Agustus 1945.

Kamp tawanan Jepang di Cimahi dihuni oleh sekitar 10.000 orang, sebagian besar orang kulit putih. Sementara penghuni Tionghoa hanya sekitar lima persen.
Para tawanan mendapatkan kebutuhan yang cukup terkait makanan hingga saat Jepang mengalami kondisi terdesak, para tawanan perlu berpikir bagaimana memenuhi kebutuhan pangan mereka.
Roti tak lagi mereka dapat membelinya dan sekalipun roti dibagi di dalam kamp, itu pun mulai jarang. Roti yang menjadi kebutuhan pangan utama beralih menjadi jagung, kacang kedelai, singkong atau ubi.
Membuat Roti Berbiang Air Kencing
Meskipun ada beberapa jenis makanan lainnya seperti yang disebutkan di atas, tetapi roti tetap diusahakan ada di kamp, sehingga tawanan mencari cara untuk membuatnya.
Jepang membolehkan mereka untuk membuat roti sendiri. Di saat yang bersamaan, tangsi militer Cimahi yang ketika itu menjadi kamp tawanan pernah ada pabrik roti.
Ada kaleng-kaleng cetakan roti yang sudah menjadi gayung WC atau gayung kamar mandi para tawanan, akhirnya harus dikembalikan, menurut cerita Nio.
"Pertjobaan dibikin dan berhasil," kata Nio. Biarpoen roti pertama lebih mirip batoe bata daripada roti."
Di kamp Cimahi, berbagai ilmuwan berkumpul sebagai tawanan perang. Mengandalkan ilmu yang mereka miliki, pembuatan roti bagi para tawanan tidak lagi tergantung pasokan biang atau ragi dari Jepang, melainkan mereka menggantinya dengan biang dari air seni atau air kencing.
Untuk membuat roti ini, air kencing para tawanan dikumpulkan dalam beberapa drum kemudian diolah menjadi biang roti.
"Djoemblah jang perloe dari aer kentjing laloe dikoempoelken dan diangkoet ka satoe pendirian baroe, jang dinamaken Gistbedrijf [Peroesahaan Biang]," ungkap Nio.
Tanpa adanya biang, adonan roti tidak mengembang dan empuk. Melalui biang air kencing milik para tawanan ini, dihasilkan juga minuman bernutrisi bagi tawanan yang sakit, yang berwujud serbuk halus.
Mereka berhasil memproduksi roti kadet untuk 10.000 tawanan. Setiap tawanan menerima roti dengan berat hanya sekitar 110-150 gram. Pabrik roti ini bisa memproduksi asalkan terdapat bahan-bahan seperti gandum, minyak, kayu bakar dan juga air kencing.
Baca juga artikel seputar Ragam, atau artikel menarik lainnya dari Ahmad Luthfi.
BACA JUGA
Mengenal Batu Andesit yang Jadi Pemicu Konflik Desa Wadas, Punya Manfaat Bejibun!
Wow, Pakaian Dalam Ini Bisa Dipakai Berminggu-minggu Tanpa Dicuci | Males Nyuci Wajib Beli!
Baru Tiba di Lombok, Marc Marquez Langsung Remehkan Sirkuit Mandalika: Lebih Enteng?
7 Momen Detik-Detik Buaya Berkalung Ban di Palu Terbebas dari Lilitan Selama 6 Tahun
Ini Beda Laptop Harga Puluhan Juta vs Laptop Biasa