Majelis Tinggi Parlemen Tajikistan resmi menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) yang melarang penggunaan hijab pada 19 Juni 2024. RUU ini disahkan dalam sesi ke-18 Majelis Tinggi yang dipimpin oleh ketuanya, Rustam Emomali. Dalam RUU tersebut, hijab disebut sebagai "pakaian asing atau tradisional." Selain itu, anak-anak juga dilarang merayakan Idul Fitri dan Idul Adha.
Sebelumnya, terdapat festival idgardak di Tajikistan yang memperingati kedua hari raya besar tersebut. Festival ini melibatkan anak-anak yang mengunjungi rumah-rumah di kota untuk memberi salam.
Pemerintah Tajikistan menyatakan bahwa larangan ini bertujuan untuk melindungi nilai budaya negara, mencegah takhayul dan prasangka, serta menghindari pemborosan dalam perayaan tertentu. Presiden Emomali Rahmon menegaskan bahwa larangan hijab bertujuan untuk melindungi budaya Tajik. Selain itu, pria Tajikistan juga dilarang memelihara jenggot panjang.
Larangan hijab ini terkesan aneh karena Tajikistan merupakan negara dengan mayoritas penduduk muslim. Menurut sensus terakhir pada 2020, 96 persen penduduk Tajikistan adalah muslim. Meski demikian, penduduknya terdiri dari berbagai etnis, dengan mayoritas etnis Tajik. Bahasa resmi yang digunakan di negara ini juga Bahasa Tajik.
Pelanggaran terhadap aturan ini akan dikenai denda sebesar hampir 8 ribu Somoni atau setara Rp12,3 juta. Sementara itu, pejabat pemerintah atau otoritas agama yang melanggar aturan akan dikenai denda masing-masing sebesar 54 ribu Somoni atau sekitar Rp84 juta, jika terbukti bersalah.
Sebelum disahkan parlemen, larangan berhijab ini sudah diberlakukan secara tidak resmi. Selain itu, Tajikistan juga melarang pria memelihara janggut lebat. Pada 2017, Kementerian Pendidikan Tajikistan melarang pakaian khas Islam seperti abaya atau rok mini gaya Barat bagi siswa sekolah dan memperluas larangan ini ke semua institusi.
Pemerintah juga melakukan penggerebekan di jalan-jalan untuk menangkap perempuan yang mengenakan hijab dan meminta mereka untuk memakai pakaian khas Tajik.
Parlemen Tajikistan juga berencana mengesahkan larangan penjualan pakaian yang dianggap asing bagi budaya Tajikistan. Kebijakan ini memicu protes dari warga yang menegaskan bahwa seharusnya mereka diberi kebebasan dalam berpakaian.
Dengan aturan baru ini, Tajikistan berusaha menjaga identitas budaya nasionalnya, namun banyak yang mempertanyakan apakah pembatasan ini melanggar hak individu untuk berekspresi dan berkeyakinan.