Fandy Dawenan disebut di depan audiens Australian Alumni Gala Dinner, Perayaan 75 Tahun Hubungan Diplomatik Australia - Indonesia, di Hotel Raffles, Ciputra World, Jakarta. Fandy maju dengan membawa tongkat lipatnya sambil dipandu seorang perempuan menuju ke atas panggung.
Fandy Dawenan adalah Ketua Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Provinsi Papua Barat Daya dan seorang guru di SMAN 10 Raja Ampat. Pada malam itu, Fandy diumumkan menjadi penerima Penghargaan Australian Alumni Award kategori Mempromosikan Pemberdayaan Perempuan dan Inklusi Sosial.
Fandy telah mengidap tunanetra nyaris 100 % sejak lahir. Matanya dari dulu hanya bisa melihat bayang-bayang benda. Namun kondisinya ternyata tak menghalangi semangatnya untuk bersekolah, menimba ilmu bahkan hingga ke seberang benua Australia.

Di masa lalu, Fandy merasakan tiga sistem pendidikan bagi penyandang disabilitas. Pertama adalah segregasi, dimana disabilitas dipisahkan dari anak-anak non-disabilitas dalam Sekolah Luar Biasa (SLB) di tingkat SD-SMP. Kemudian dialami sistem integrasi saat Fandy bersekolah di SMA di Makassar dan kuliah sarjana di Universitas 45 Makassar (kini Universitas Bosowa).
Fandy menceritakan bahwa saat berkuliah, ia harus merekam kuliah dengan menggunakan kaset tape karena kesulitan membaca kamus. Belajar pun tidak selalu mudah bagi Fandy. Ketika SMA, ia sering meminta temannya untuk membacakan buku paketnya sebelum merekamnya.
Saat di rumah, ia akan memutar rekaman tersebut lagi untuk mendengarkannya. Namun, dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih, Fandy dapat belajar lebih nyaman.
Fandy menyadari bahwa perjuangan untuk kuliah di Australia jauh lebih berat bagi penyandang disabilitas seperti dirinya. Namun, dia berhasil mendapatkan beasiswa Australia Awards di Flinders University dan menyelesaikan pendidikan pascasarjana dari tahun 2018 hingga 2020.
Fandy mengungkapkan bahwa meningkatkan kemampuan bahasa Inggris menjadi tantangan tersendiri bagi dirinya sebagai penyandang disabilitas penglihatan. Namun, program-program dari Australia atau universitas sangat membantu dalam persiapan kuliah di luar negeri.
Sebelum masuk perkuliahan, Fandy mengikuti asesmen yang menentukan kebutuhan dan kendala yang dia hadapi dalam materi kuliahnya. Pihak kampus juga memberikan dukungan dengan menyediakan fasilitas seperti tambahan waktu mengerjakan tugas dan pendamping studi.

Fandy merasakan pendidikan inklusi ketika berkuliah di Australia. Sebelum memulai perkuliahan, ia mengikuti asesmen untuk menentukan kebutuhan dan kendalanya. Pihak kampus sangat mendukung dengan menyediakan fasilitas Disability Support System atau Disability Support Center.
Mereka membantu Fandy dalam hal materi kuliah, seperti menyiapkan format Words yang bisa diakses oleh Fandy dan memberikan materi kuliah dalam bentuk digital sebelum perkuliahan dimulai.

Selama kuliah di Australia, Fandy juga merasakan budaya disiplin yang kuat dalam pembelajaran. Jadwal kuliah dan pengumpulan tugas harus tepat waktu. Meskipun demikian, sebagai penyandang disabilitas, Fandy mendapatkan beberapa hak istimewa, seperti perpanjangan waktu mengerjakan tugas dengan syarat melampirkan hasil assessment sebagai bukti kondisi disabilitasnya.
Meskipun menjadi seorang tunanetra, Fandy berhasil menjadi guru Bahasa Inggris di SMAN 10 Raja Ampat, Papua Barat Daya. Ia mengajar siswa-siswi nondisabilitas dengan metode yang sesuai dengan kondisi wilayah 3T (Terluar-Terdepan-Tertinggal) tempat sekolah berada.
Selain itu, daerah tempat Fandy bekerja juga juga mengalami keterbatasan listrik. Hanya 6 jam sehari dari pukul 6 sore hingga tengah malam, hal itu mengharuskan Fandy mencetak materi pelajaran dan membagikannya kepada siswa-siswi. Setelah mereka membaca bersama materi tersebut, mereka diberikan tugas yang sudah dicetak sebelumnya.

Selain menjadi guru, Fandy juga berusaha untuk memberdayakan teman-teman disabilitas netra lainnya agar dapat mengikuti jejaknya. Melalui program Australia Alumni Grant Scheme, Fandy mencoba memasukkan proposal mengenai peningkatan kemandirian bagi penyandang disabilitas netra di Papua Barat Daya.
Salah satu upayanya adalah dengan memberikan handphone dengan software canggih yang sesuai dengan kebutuhan tunanetra. Menurut Fandy, handphone bukan hanya untuk gaya-gayaan, tetapi menjadi pengganti mata bagi mereka.
Dengan aksesibilitas yang dimiliki oleh handphone tersebut, mereka dapat menggunakan media sosial seperti WhatsApp, membaca tulisan-tulisan di atas kertas, dan bahkan mengakses transportasi online.
Melalui perjuangan dan semangatnya, Fandy Dawenan telah menjadi inspirasi bagi banyak orang dengan disabilitas netra. Ia membuktikan bahwa tidak ada halangan yang bisa menghalangi seseorang untuk meraih impian dan menimba ilmu.