Peneliti dari University of Colorado Boulder baru-baru ini mengungkapkan bahwa es di permukaan Bumi kian berkurang dengan kecepatan yang mengkhawatirkan. Hal ini mengakibatkan perubahan warna lingkungan kutub dari putih menjadi biru lebih cepat dari biasanya.
Laporan tersebut menunjukkan bahwa pada bulan September, hanya 3,3 juta kilometer persegi es yang tersisa di Samudra Arktik. Jumlah ini diprediksi akan terus menurun, dan para ilmuwan memprediksikan bahwa tutupan es di wilayah tersebut akan turun di bawah satu juta kilometer persegi dalam waktu empat tahun lebih awal, atau bahkan 18 tahun lebih cepat dari perkiraan sebelumnya.
"Kiamat es" di kutub bukan berarti seluruh es akan mencair, tetapi mengacu pada kondisi di mana jumlah es di bawah satu juta kilometer persegi. Emisi gas rumah kaca menjadi faktor utama yang mendorong percepatan pencairan es. Matahari yang memancarkan panas diserap oleh lautan, menyebabkan es mencair dan suhu di wilayah kutub meningkat.
Pencairan es di kutub tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga pada makhluk hidup di sekitarnya, termasuk hewan seperti anjing laut dan beruang kutub, serta migrasi ikan ke Samudera Arktik. Gelombang laut yang semakin besar akibat mencairnya es di kutub juga akan berdampak pada manusia.
Para peneliti menekankan bahwa satu-satunya cara untuk mengurangi dampak pencairan es di kutub adalah dengan mengurangi emisi gas rumah kaca. Alexandra Jahn, peneliti dari Institut Penelitian Arktik dan Alpine CU Boulder, menegaskan bahwa emisi harus ditekan seminimal mungkin untuk menghindari "bebas es" yang berkepanjangan.